Hanya Pagi Itu
Oleh: tdwiu
Sayup-sayup terdengar suara jangkrik, belalang, dan
hewan kecil lainnya di sepanjang malam. Seperti biasa, malam ini aku masih
duduk-duduk santai di tempat favorit dalam rumahku, kursi dekat jendela yang
menghadap teras sangatlah nyaman. Oh, ada satu lagi favoritku ketika duduk di
sini yaitu dengan pikiran yang asik, berkerja mencari-cari apa yang harus aku
lakukan besok. Hei, bukan berarti aku tidak ada kerjaan, aku hanya suka
memikirkan sesuatu, sangat suka.
Cekrek…
Suara pintu membuyarkan lamunan. “Sania, ngapain nduk?” Tanya ibuk yang kini
hadir di hadapanku. “Hehe nggak buk santai-santai saja,” jawabku pada wanita
paling kusanyangi di dunia ini. Kalau boleh jujur, justru malam ini aku tidak
sedang bersantai. Aku justru sedang sangat sibuk dengan pikiranku yang
berlari-lari terus mencari masalah untuk dipikirkan. “San gimana ya nduk
sekarang ini kok malah makin banyak kasusnya” ungkap ibuk, persis seperti apa
yang sedang ku pikirkan. “Sania kamu harus sabar ya nduk. Hadapi semua dengan
tabah, berdoa mohon dilancarkan” kata ibuku mengakhiri percakapan malam ini
yang sekaligus mampu mengakhiri pikiranku yang berkecamuk.
Benar kata ibuk, saat ini doa-lah yang paling
penting. Setelah percakapan tadi malam rupannya benar, paginya aku menemukan
jawaban yang harus aku lakukan. Hari ini aku akan pergi menemui keluarganya.
Sejujurnya, selama 2 bulan sejak adannya imbauan dari pemerintah untuk
karantina mandiri, aku tidak pernah sekalipun berhenti berpikir untuk masalahku
sendiri juga untuk masalah orang lain. Aku akan menikah sekitar 3 minggu lagi,
itulah yang kini menjadi hal yang ku khawatirkan. Tentu aku juga sudah banyak
melihat berita mengenai menikah dalam kondisi pandemi seperti ini dan tentu
saja dengan berbagai pengawasan. Banyak yang melakukannya dan wajah mereka
terlihat sumringah di foto-foto hari bahagia itu. Tanpa sadar aku sudah sampai
depan rumahnya yang hanya beberapa kilo dari rumahku.
“Assalamualaikum, ma” salamku sekaligus menyapa
dengan sangat akrab, tentu saja dia akan jadi mertuaku yang selama ini juga
sudah ku anggap ibuku. “Eh Sania masuk sayang, Ya Allah senang mama bisa lihat
kamu. Sehat kan nak?” Tanyanya dengan penuh perhatian. “Sehat ma,
Alhamdulillah. Arka ada di rumah kan ma?” Jawabku sambil mengajukan pertanyaan
pada mama. “Aduh, Arka. Tadi itu mama sudah bilang sama dia jangan keluar tapi
yah begitu dia tetap keluar katanya ada urusan.” Hati dan pikiran yang sudah
aku siapkan tiba-tiba membeku. Oh tidak-tidak, hatiku yang diam pikiran ku
berkecamuk.
Setelah menunggunya kurang lebih 2 jam, dia juga tak
kunjung pulang meski sudah ku telepon. Mamanya khawatir pun dia tetap belum
pulang. Kalau bukan karena aku mencintainya, sudah ku bunuh dia karena membuat
ku khawatir setengah mati. Ya, dia Arka yang berhasil mencuri hatiku sejak di
bangku Sekolah Menengah Atas 4 tahun silam. Dia pindahan dari kota sejak kelas
X SMA. Saat pertama kali datang, dia sudah berhasil menarik hatiku dan sejak
saat itu kita bersahabat. “Ayo menikah, San" hanya tiga kata itu berhasil
membuat ku berhenti berpikir padahal kalian tau bukan aku paling tidak bisa
berhenti berpikir.
“Sania, nduk yang sabar ya,” aku pikir hanya kalimat
Arka saat itu yang mampu membuatku berhenti berpikir. Tapi ternyata aku salah,
2 hari setelah kedatanganku ke rumah Arka aku mendengar kata ibuku yang
membuatku tidak lagi sanggup untuk berpikir. Arka dan mamanya, mereka berdua
pagi ini dibawa ke rumah sakit karena diduga terkena virus itu. Aku hancur,
sedih sekali. Ingin ku memaki Arka karena dia keluar hari itu. Ku pikir aku
sudah cukup sedih dengan kabar ini. Esoknya keluargaku harus dibawa ke rumah
sakit karena dugaan yang sama, setelah itu aku tersadar bahwa ternyata akulah
pembawa virus ini masuk ke orang-orang tersayangku.
Aku ingin menyangkalnya namun ini kenyataan, pagi
saat aku berkunjung ke rumah Arka aku dalam kondisi baik-baik saja tapi
tiba-tiba aku ingat aku tidak memakai masker, aku mengabaikannya di jalan. Aku
bertemu banyak orang yang saling menyapa dari dekat. Bahkan aku tidak sadar
masih menyalahkan Arka hari itu yang justru dia pergi ke balai desa membagikan
masker. Kata dokter, di antara semua orang terdekatku yang terkena, aku lah
yang memiliki imun paling kuat, sedang mama, Arka dan orang tuaku justru yang
paling menderita. Maaf Ka, aku yakin ini salahku. Kau selalu bilang untuk
selalu mencuci tangan dan memakai masker. Aku juga merasa selalu melakukannya,
hanya pagi itu saja aku berjalan ke rumahmu dengan senang, bertemu orang banyak
di jalan, bercengkrama sebentar. Maaf juga mama, ibuk, dan bapak.
0 Komentar