Karya Terpilih PJTD 2019 (Cerpen)


Sehijau harapan dalam ilustrasi sang Ayah

Januari yang kelabu. Seperti kemarin hujan turun lagi. Beribu bulir hujan yang jatuh menyapa bumi. “Aduh  kenapa sih, dari kemarin hujan terus gak berhenti-henti?” ujarku  berjalan terseok-seok menuju kamar kakak laki-lakiku, dan menyeret sebuah kursi sofa ke tepi jendela dan duduk diatasnya. Kakakku yag sedang asyik bermain playstation ramah lingkungan yang dibuatnya hanya menoleh sekilas ke arahku. “Memang kenapa sih Ocha?, hujan itu nikmat loh, banyak berkahnya, harus disyukuri”. Celetuknya, lalu kembali menekuni layar televisi.
                                                           **
Pagi ini terlihat cerah. Mendung sudah tak terlihat lagi, namun ketika aku membuka jendela kamar, bau busuk yang membelenggu tercium oleh hidungku. Aku pun bergegas kekamar bang Boim, menggoyang-goyangkan tubuhnya, dan menyuruhnya untuk  melihat keadaan kamarku bak semerbak rusuh. “Bau apaan sih Cha?” celetuknya sambil menutup indra pembaunya. “Lha nggak tahu, biasanya kan abang yang sensitif sama beginian?” protesku.  “Hmm, pantes itu sungai belakang rumah, sampahnya aja pada numpuk, ya baunya sampe sini. Lagian siapa sih yang buang sampah disitu?, minggu lalu kan abang sama
temen abang udah bersihin?, kok udah numpuk saja?”, protesku. “Lagian siapa sih yang buang sampah disungai, bukannya udah tahu ntar jadinya bakal gimana.” Katanya kesal. 
***
Barisan kendaraan sudah berjejeran di sepanjang jalan raya hari ini. Kemacetan seperti ini sudah mungkin terjadi menimpa diriku. Namun lain halnya dengan kakakku, Boim, hampir tak pernah mengalami kemacetan ketika berangkat ke kampusnya, sampai sekarang pun dia juga belum terlalu lancar mengendarai sepeda motor. Walaupun tak sedikit teman-temannya menyuruh mengendarai motor, namun dia berpendapat akan kesadaran menggunakan sepeda oleh para generasi muda karena hancurnya bumi dengan polusi yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor. Menurutnya, selain sepeda sebuah kendaraan yang murah, kendaraan berayun ini terjangkau oleh semua masyarakat dan sangat banyak memiliki manfaat kepada sekitar sampai kepada diri sendiri.
Berbeda denganku, aku tidak terlalu menyukai penghijaun, kelihatannya sama saja, tidak mempengaruhi keadaan bumi sekarang. Namun kakakku selalu mengajakku melakukan aksi penghijauannya bersama di hutan, seperti  liburan akhir semester ini dia berniat mengajakku program go green one human one tree, satu orang satu pohon, dan menyebutnya sebagai paru-paru dunia.

                                                                       **
            “The number you’re calling can not be reach at the moment, please try again”, “ahh gagal lagi” kata kakak yang dari tadi memencet-mencet tombol handphone miliknya terlihat putus asa. Kami pun pergi meninggalkan halte bus dan menuju ketempat yang sudah terasa sejuknya. Kami pun mendatangi sebuah rumah tua dengan tembok yang hanya berupa bambu dan sebuah pintu triplek. “Dug dug dug!”, kakakku pun mengetuk pintu tersebut, sedangkan aku hanya diam tidak tahu apa yang sebenaranya kakakku lakukan. 

            “ Ya siapa disana?” jawab seseorang dirumah itu, suaranya terlihat lemah dan rapuh. Selang beberapa lama muncul seorang kakek dengan susah payah membuka pintu rumahnya sambil memegang tongkat bambu. Terlihat kurus dan pucat. 

            “Oh, kamu cu sini masuk dulu, pasti capek habis perjalanan jauhkan tadi kesini.” Aku dan bang Boim pun akhirnya masuk dan duduk lesehan diatas anyaman yang terlihat kusam dimakan usia. “Kek, saya dan Ocha hanya ingin menanyakan beberapa hal kepada kakek tentang ayah saya”, kata kakakku dengan lembut dan sopan. “Iya, tanya apa cu?” tanya kakek dengan suara yang rapuh
namun pasti. “Hmm, sebenarnya ayah saya dimana ya kek?, saya menemukan surat ini di dalam lemari Mama saya Kek, katanya saya boleh menyusul ayah di alamat ini Kek, tapi ternyata ini rumah Kakek.” Tanya bang Boim. Lagi-lagi aku hanya diam dan tak mengerti apa-apa tentang ini.
“Kakek tidak tahu cu, setahu kakek Ayahmu tinggal di jalan Flamboyan nomer 17” sahut kakek. “Hah? Jalan Flamboyan? Itu dimana ya kek? Kata kakak terlihat kaget. “Tempatnya berada di Hutan Tunjang, kira-kira 100 meter dari sini, mau jalan, atau mau pakai sepeda ontel kakek?”. Tawar kakek sambil memperlihatkan ontel legendarisnya. “Tapi kok udah berkarat gitu ya kek?”. “Gini-gini masih bisa jalan” jawab kakek tersenyum. “Ini ambil, bisa naik sepeda tha??” sambil mengambil sepeda di belakang rumahnya.
“Keren ya Ocha?, keren banget Kek onthelnya”. “Iya cu, ini sepeda legendaris jaman Belanda dulu”. “Iya Kek, saya langsung pergi saja ke Hutan Tunjang ya Kek, ini udah sore soalnya”. Kami pamit dulu ya Kek” sahutku dan mebonceng bang Boim di belakang. Sampai dijalan menuju hutan Tunjang ternyata hari sudah mau gelap.
Lalu aku bersama bang Boim menuju salah satu gubuk dan menemui seseorang yang kelihatannya adalah penjaga Hutan Tunjang tersebut. “Maaf nak, ada apa kemari?”. “Maaf pak saya ingin bertemu Ayah saya di Jalan Flamboyan nomor 17?”. “Oh ya, maaf nak, mari saya antarkan?”. “Kenapa bapak meminta maaf kepada saya?”. “Maaf nak”. Kata penjaga itu tanpa menjawab pertanyaan kakak lelakiku. 
Sesampainya dijalan Flamboyan nomor 17, aku dan bang Boim menganga ketika melihat sebuah rumah yang besar dengan penjagaan lengkap juga. Kami pun langsung masuk kerumah tersebut dengan perasaan yang takut luar biasa karena terlihat orang yang mempunyai rumah ini adalah orang penting dan terkenal. Tapi tanpa disangka, penjaga tersebut membiarkan kami masuk dan membiarkannya tanpa menanyainya. Lalu seseorang pun keluar, kami pun bertemu dengan Ayah. Ayah yang belum pernah aku lihat sebelumnya, Ayah yang memiliki alasan sendiri untuk menjaga dan menyayangi aku dan bang Boim dari jauh, kata Mama. Kasih yang kudapatkan memang berbeda. “Ayahhh..” kata bang Boim sambil berlari ingin memeluk Ayah. “Anakku...” kata si ayah dengan tampang lugunya yang polos sekaligus bingung  siapa dua pemuda yang ada di depannya. “Siapa sebenarnya dia?” tanya Bapak itu kepada salah satu penjaganya. Aku pun menyusul kakakku dan tanpa disengaja aku terpeleset dengan wajah membentur batu. Sebenarnya yang ia temui itu bukanlah Ayahnya, sang Ayah ternyata adalah penjaga pintu yang tadi meminta maaf kepada Boim.

                                                                       **
“Cha, Ocha bangun Cha?”, aku hanya terdiam, ternyata aku hanya kelelahan mencangkul tanah. Aku dan bang Boim pun bergegas melanjutkan aksi penghijauan di hutan ini, “Bang kita udah banyak nanam pohon di hutan ini, tapi nama hutan ini apa?” tanyaku memastikan. “Kurang tahu juga Cha, tapi sekitar 500 meteran lagi udah ada canopy bridge”. Ternyata hutan ini bukan bernama Hutan
Tunjang. “Cha cepetan lanjutin, bengong aja, yang penting sekarang kita harus mengikuti kehidupan masa depan pohon yang kita tanam ini, kamu ingat pesan yang ada di  surat lemari Mama kan?, kalo kita bisa menyukseskan gerakan menanam satu milyar pohon, kita akan secepatnya bertemu Ayah”. Sehijau harapan dalam anganku dan tersenyum sambil mengilustrasikan wajah sang ayah. Tanpa disangka sang Ayah melihat mereka berdua dari balik teduhnya pepohonan dengan penuh bangga. Ia menaruh harapan besar terhadap anak-anaknya. Karena alam adalah asanya.

            Nama                          : Pudya Nur Damaswari
            NIM                            : K100160173
            Fakultas/Jurusan         : Farmasi/Farmasi
            No. Hp/Line                : 082199375003/pudyanur
           

Posting Komentar

0 Komentar